Birokrasi pemerintah merupakan suatu kekuatan yang besar sekali, sebab kegiatannya menyentuh setiap kehidupan manusia. Baik suka atau tidak suka manusia tidak bisa lepas dari kegiatan birokrasi pemerintah. Kebijakan yang dibuat (dijalankan) oleh birokrasi sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan manusia. Suka atau tidak suka, manusia yang hidup dalam suatu negara tertentu harus mau menerima suatu kebijakan yang telah di buat oleh birokrasi.
Birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi politik yaitu bukan merupakan bagian dari kekuatan politik tertentu (partai politik) maupun dari sisi administratif. Sebab apabila birokrasi menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu maka akan menjadi tidak netral yaitu memihak kepada kekuatan/aliran politik tersebut. Padahal dalam memberikan pelayanan umum, birokrasi pemerintah diharapkan tidak akan memihak kepada kelompok tertentu, dengan tujuan agar pelayanan umum yang dilakukan oleh pemerintah bisa diberikan pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan aliran atau partai politik yang diikuti oleh anggota masyarakat tersebut.
Dalam memberikan pelayanan umum, birokrasi pemerintah dituntut lebih efektif dan efisien. Namun, akibat tugas yang berat dan sangat luas, maka birokrasi pemerintah terkesan lambat. Untuk itu atas pertimbangan kecepatan dan kelancaran dalam pelayanan, maka perlu untuk “mewirausahakan” birokrasi. Disinilah netralitas birokrasi sangat diperlukan. Birokrasi sebagaimana telah disinggung diatas, merupakan suatu bentuk organisasi perspektif struktural dalam paradigma efisiensi. Dalam pengertian yang sederhana, James D. Mooney mendifinisikan organisasi sebagai bentuk perserikatan manusia untuk pencapaian tujuan bersama (dalam Sutarto, 1995 : 23). Dengan demikian birokrasi dapat dipandang sebagai bentuk pengorganisasian kerjasama manusia secara efisien dengan sepenuhnya menerapkan berbagai asas organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama secara efektif. Selain itu birokrasi juga merupakan tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang (Achmat Batinggi, 1999: 5.3) Max Weber, Frederick Taylor dan Henry Fayol percaya bahwa organisasi paling efisien dan efektif mempunyai struktur hirarkis berdasar pada otoritas formal dan legal (dalam Stoner, 1982 : 353). Organisasi demikian biasa diasosiasikan dengan konsep birokrasi rumusan Max Weber.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional. Karakteristik birokrasi tipe ideal sebagaimana dimaksud Weber di atas adalah meliputi :
1. Adanya pembagian kerja yang jelas.
2. Adanya hierarki jabatan.
3. Adanya pengaturan sistem yang konsisten.
4. Prinsip formalistic impersonality.
5. Penempatan berdasarkan karier.
6. Prinsip rasionalitas (Max Weber dalam Batinggi, 1999).
Menurut perkembangan awal dari konsepsi birokrasi ini, kenetralan birokrasi itu sudah ramai dibicarakan oleh para pakar. Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Rober Michels. (Fischer & Sirriani; 1984) Misalnya, polemik antara Karl Marx dan Hegel yang menyoroti tentang konsep kenetralan birokrasi. Marx memulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara. Analisis Hegelian menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan masyarakat rakyatnya (the civil Society). Masyarakat rakyat ini terdiri atas para profesional dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan umum. Di antara kedua hal ini, birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga susunan ini (negara, birokrasi dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx, akan tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannya dengan melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marx mengkritiknya bahwa meletakkan posisi birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti apa-apa. Menurut Marx negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Dari perspektif ini maka birokrasi itu sebenarnya merupakan perwujudan kelompok sosial yang amat khusus. Lebih tepatnya birokrasi itu menurut Marx merupakan suatu instrumen di mana kelas dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Dalam hal ini, jelas masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marx pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu negara (Achmat-Batinggi, 1999). Dari polemik antara Karl Marx dan Hegel inilah netralisasi birokrasi sudah ramai dibahas.
Dari polemik pendapat antara Hegel dan Marx ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hegel menghendaki kenetralan birokrasi. Sedangkan Marx yang terkenal dengan teori kelasnya itu menyatakan dengan tegas bahwa birokrasi itu tidak netral dan harus memihak, yakni memihak pada kelas yang dominan (Achmat-Batinggi, 1999). Pada konteks yang lain, yang tidak berbau Marxis, Woodrow Wilson (Achmat-Batinggi, 1999) juga menyoroti tentang kenetralan birokrasi . Birokrasi pemerintah menurut Wilson berfungsi melaksanakan kebijakan politik, sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik. Konsep dasar Wilson ini kemudian diikuti oleh sarjana politik Frank Goodnow (1900) yang menyatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lainnya yaitu fungsi pokok politik dan administrasi. Fungsi politik berarti pemerintah membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara fungsi administrasi berarti pemerintah tinggal melaksanakan kebijakan tersebut (Achmat-Batinggi, 1999).
Dalam perspektif lainnya, netralisasi birokrasi dikemukakan oleh Francis Rourke (1984). Dia mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik, akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan politik. Menurut Rourke, netralisasi birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan politik itu, menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni pada masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri (executive branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha dan mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan birokrasi sendiri, misalnya dari kalangan perguruan tinggi (Achmat-Batinggi,1999).Sedangkan menurut Nicholas Henry (1980), birokrasi mempunyai kekuasan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-making power).
Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah Thoha ;1993) Dari berbagai pandangan di muka, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan yang pasti tentang netralitas birokrasi, apakah berdiri sebagai profesional ataukah ia harus memihak partai/pihak tertentu yang sedang berkuasa. Untuk mengetahui netralitas birokrasi pemerintahan kita, dapat ditelusuri sejarah perkembangannya (Achmat-Batinggi, 1999) di bawah ini:
Pada masa kemerdekaan, yaitu tepatnya tahun 1945-1950. Sikap birokrasi pemerintah kita masih netral. Semangat perjuangan masih mewarnai birokrasi kita. Semangat nasional untuk membela dan mempertahankan negara proklamasi masih melekat kuat pada putra-putri bangsa. Pada awal tahun-tahun kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat dari putra-putra bangsa, bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Periode tahun 1950-1959. Pada masa ini, semua partai politik berkeinginan menguasai kementerian pemerintah. Kehidupan birokrasi sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh patronikasi. Rekrutmen pegawai berbau Jacksonisme, surat wasiat (katabelece) mempengaruhi penentuan terhadap siapa yang akan diangkat dalam jabatan birokrasi, sehingga kehidupan birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral. Walaupun birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral, ada satu hal yang masih dirasakan menguntungkan. Di antara partai-partai politik yang saling bersaing untuk menguasai kementerian pemerintah itu, mereka semuanya menginginkan adanya pemerintah yang demokratis. Pada periode ini pemilu untuk pertama kali diselenggarakan setelah merdeka. Partai politik berpaling kepada aparat birokrat, karena menurut jumlahnya merupakan potensi pendukung untuk memenangkan partai dalam pemilu. Pada waktu itu maka timbullah kelompok-kelompok pegawai negeri yang berafiliasi dengan partai politik.
Masa antara tahun 1960-1965. Pada periode ini, birokrasi semakin jelas diincar oleh aliran politik. Keinginan tiga aliran politik untuk menguasai birokrasi pemerintah semakin mengkristal. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga aliran politik (Nasional, agama dan komunis/Nasakom) membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga ciri birokrasi saat itu adalah sangat birokratis, primordial dan patronikasi yang sangat kental. Tiga aliran politik (Nasakom) berambisi mempergunakan jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sebagai building block untuk membangun organisasinya. Kemudian perbedaan yang mencolok dari sikap birokrasi pemerintah kita pada masa orde lama dengan masa orde Baru adalah: pada masa orde lama, keinginan tiga aliran politik (NASAKOM) untuk menguasai kekuasaan politik semakin mengkristal. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga aliran politik membangun akses ke birokrasi pemerintah. Pada masa ini birokrasi pemerintah digunakan untuk menyokong kekuasaan aliran politik yang ada yaitu NASAKOM.
Sedangkan pada masa Orde Baru – 1998 yang lalu, birokrasi kita menjadi “alat” kekuatan sosial dan politik yang dominan yaitu Golkar. Kemenangan Golkar pada empat kali pemilu, salah satu faktor yang menentukan kemenangan itu adalah peranan birokrasi kita. Birokrasi kita ikut memilih dalam pemilu, dan tidak ada alternatif lain yang dipilih kecuali Golkar. Jadi secara singkat letak perbedaan masa orde lama dan orde baru terhadap birokrasi kita adalah pada orde lama, tiga aliran politik sama-sama mempunyai akses ke birokrasi. Sedangkan pada periode orde Baru, birokrasi “diwajibkan” memihak ke Golkar.
Pada masa reformasi. Kedudukan birokrasi atau sikap birokrasi pemerintah masih penuh tanda tanya. Karena pada masa reformasi ini telah muncul kembali multi partai, sehingga: (1) tidak ada kekuatan politik yang dominan, (2) kepada siapa ia harus memihak, (3) Golkar masih cukup kuat Sifat masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat transisi, yakni antara msyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama. 1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern; 2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita; 3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Model administrasi negara di dalam masyarakat negara sedang berkembang yang berciri prismatik adalah “model sala”. Karakteristik heterogenitas, formalisme dan overlapping mewujud dalam model “sala”. Dalam birokrasi sala demikian birokrasi modern rasional ala Weber berlangsung sama dengan “birokrasi tradisional”. Ada struktur formal, tetapi fungsi-fungsi administratif dilaksanakan berdasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan ini menimbulkan berbagai kelompok yang disebut prulal community dan solidaritas diantara anggota kelompok. Norma-norma formal yang didesain sebagai hukum dan pedoman perilaku dapat dikalahkan oleh norma-norma yang mengikat hubungan kekeluargaan dalam kelompok-kelompok tersebut. Keadaan ini menggiring ke arah penyatuan antara kepentingan birokrasi (negara) dengan kepentingan pribadi. Akhirnya timbul berbagai ketidakadilan pelayanan dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu berbagai nilai modern dirumuskan seperti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat; PNS adalah abdi masyarakat; pemerintah harus bertindak sesuai hukum; namun tidak pernah ditemui dalam praktek (dalam S. Pamudji, tt : 57-63). Birokrasi model “sala” ini mempunyai kemiripan dengan birokrasi patrimonial dari Weber. Menurut Weber, birokrasi patrimonial ini memiliki karakteristik berikut :
1. Rekruitmen pejabat berdasar kriteria pribadi dan politik.
2. Jabatan merupakan sumber kekayaan dan keuntungan.
3. Pejabat mengontrol fungsi politik dan administrasi.
4. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Kondisi patrimonialistik itu memunculkan perilaku aparat birokrasi yang menghamba pada kekuasaan (dalam Denny B.C. Hariandja, 1999 : 56). Dengan demikian birokrasi tidak memerlukan pengawasan, karena hanya akan menganggu dan mendeskralisasi kekuasaan. Berdasar alasan demikian tidak aneh bila birokrasi lebih mementingkan pelayanan kepada penguasa daripada masyarakat. Karena penguasa dipandang dapat memberikan dan melanggengkan kekuasaan pejabat birokrasi, sementara hal itu tidak dapat diberikan oleh masyarakat. Dalam kerangka demikian dapat dipahami mengapa di masa lalu birokrasi Indonesi mati-matian membela GOLKAR, seorang kepala desa rela keluar uang jutaan rupiah untuk memenangkan GOLKAR di desanya, dan mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta enggan menutup diskotik yang melanggar aturan.
Dalam masyarakat prismatik, birokrasi model sala atau patrimonial, pola-pola hubungan yang ada cenderung menciptakan patronase. Birokrasi yang memiliki kekuasaan berperan sebagai patron dan kelompok-kelompok ekonomi yang menguasai sumber dana menjadi client. Adanya pertukaran kedua sumber daya itu, hubungan ini membawa keuntungan bagi kedua pihak. Implikasi pola hubungan ini adalah birokrasi cenderung menafikan pihak-pihak yang tidak menguasai sumber daya apapun. Sehingga tidak aneh bila birokrasi negara berkembang umumnya dan birokrasi Indonesia khususnya kurang memperhatikan keadilan dan pelayanan kepada masyarakat umum. Dalam suasana birokrasi patrimonial itu cenderung mempertahankan status quo menolak segala perubahan. Harmoni merupakan hal yang sangat diutamakan. Oleh sebab itu kritik dan pengawasan sejauh mungkin dihindarkan sebab dianggap merupakan hal yang dapat mengganggu keharmonisan tersebut. Kecuali itu penguasa identik dengan kebenaran sehingga masyarakat hanya harus menurut. Di pihak lain masyarakat secara budaya umumnya merasa tidak perlu mengawasi birokrasi.
Fungsi birokrasi pada umumnya adalah mengimplementasikan kebijakan publik. Untuk itu birokrasi mempunyai kelengkapan legitimasi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Weber bahwa pejabat birokrasi mempersyaratkan kekuasaan legal-rasional yang legitimasinya bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dengan kondisi tersebut sangat mungkin terjadi akumulasi kekuasaan di tangan birokrasi. Di satu sisi ia memiliki pengetahuan khusus yang esensial bagi administrasi dalam dunia modern yakni ekonomi dan hukum. Pada sisi lain, berkaitan dengan tugasnya, ia memperoleh banyak informasi kongkrit, yang sebagian besar secara artifisial dibatasi oleh gagasan-gagasan kerahasiaan dan kemampuan (dalam Albrow, 1996 : 35). Dalam masyarakat sedang berkembang yang sedang gandrung membangun, administrasi pembangunan ada ditangan birokrasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran birokrasi menjadi sangat besar dalam masyarakat yang sedang membangun. Besarnya kekuasaan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru, ditandai berbagai label yang diberikan para pemerhati Indonesia dari luar negeri, yakni Bureaucratic Policy (Karl D. Jackson, 1987), Bureaucratic State (Emmerson, 1983), Bureaucaratic Authoritarian (Dwight Y. King, 1983) (dalam Afan Gaffar, 2000 : 235). Besarnya kekuasaan birokrasi mendorong birokrasi terus-menerus meningkatkan kemampuan dan keahliannya. Dalam proses yang terus berlangsung dalam waktu yang lama kemampuan birokrasi terus meningkat, jauh melebihi lembaga-lembaga politik. Dengan posisi yang kuat ini birokrasi negara berkembang semakin mampu menciptakan berbagai mekanisme yang cenderung memperkuat posisi dan kekuasaan. Bersama dengan itu melemahkan posisi lembaga politik yang ada. Keadaan tersebut didukung dengan kenyataan pengelolaan kebijakan publik di negara-negara berkembang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Amir Santoso, di negara-negara sedang berkembang umumnya kebijakan bersifat merombak dan ambisius karena kebijakan itu dimaksudkan untuk perubahan sosial. Perumusan kebijakan itu tidak dilakukan oleh parlemen melainkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan lemahnya kemampuan parlemen, atau partai politik tidak dapat berfungsi sebagai alat artikulasi kepentingan tetapi lebih sebagai alat bagi elit untuk menguasai massa. Selain itu kelompok kepentingan tidak efektif dalam penyaluran tuntutan massa. Di negara-negara berkembang itu kebijakan publik jarang merupakan hasil tuntutan massa atau hasil tekanan partai politik atau kelompok kepentingan. Kebijakan itu sering ditentukan sendiri oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan parlemen atau masyarakat. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa rezim di negara-negara berkembang bersikap anti partai dan menganggap partisipasi dalam perumusan kebijakan sebagai tidak sah dan tidak efisien (dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1986 : 411). Dalam konteks demikian birokrasi bersifat sangat otonom dalam arti terbebas dari pengaruh kelas sosial. Untuk memahami birokrasi otonom dapat dipahami dengan konsep negara “pasca-kolonial”.
Menurut Hamza Alavi di negara-negara “pasca-kolonial” birokrasi terbebas dari tekanan penguasa kolonial dan hanya berhadapan dengan masyarakat yang relatif terbelakang sehingga mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang besar. Birokrasi bersifat “over developed” dan tidak ada kelas sosial yang hegemonik. Kecuali itu seiring dengan proses pembangunan, birokrasi berperan dalam melaksanakan fungsi administrasi, arbritasi dan regulasi, fungsi kontrol finansial, moneter dan fiskal, bahkan pada sektor-sektor tertentu melaksanakan tindakan langsung. Pada satu sisi birokrasi mendominasi penetapan kebijaksanaan publik, pada sisi yang lain rakyat teralinasi. Basis kekuasaan birokrasi cenderung semakin besar. Peran birokrasi lebih untuk tujuan pendisiplinan dan pengendalian rakyat untuk pencapaian tujuan-tujuan yang menguntungkan sistem kapitalisme dari pada sekedar fungsi pengorganisasian dan pengkoordinasian (Mohtar Mas`oed, 1999 : 70-77).
Semakin besarnya kekuasaan birokrasi ternyata dibarengi dengan semakin melemahnya masyarakat. Sehingga masyarakat negara-negara sedang berkembang umumnya, dan masyarakat Indonesia khususnya, tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap birokrasi. Keadaan ini dapat dipahami dengan kerangka konsep Otoriterisme Birokratik dan Korporatisme Negara. Sebagai suatu rezim Otoriterisme Birokratik menurut Guillermo O`Donnel, memiliki sifat-sifat berikut:
1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil.
2. Didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional.
3. Pengambilan keputusan dalam rezim otoriterisme-birokratis bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses tawar-menawar yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan.
4. Massa didemobilisasikan.
5. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif (dalam Mohtar Mas`oed, 1989 : 10).
Sedangkan korporatisme negara, didefinisikan sebagai suatu sistem perwakilan kepentingan dimana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan keanggotaan , tidak saling bersaing, diatur secara hirearkis dan dibedakan secara fungsional; dan diakui atau diberi izin (jika tidak diciptakan) oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam bidang masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan dalam artikulasi tuntunan dan dukungan mereka, dengan tujuan menindas konflik kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan, kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara negara dan masyarakat (dalam Mohtar Mas`oed, 1989 : 13). Sistem perwakilan kepentingan di Indonesia konstituennya memiliki ciri-ciri tersebut. Karakteristik pemerintahan Orde Baru menyerupai sifat-sifat otorisme-birokratik dan korporatisme-negara (Afan Gaffar 2000 : 36-41).
Tinjauan dari sisi lain menggunakan perspektif teori ketergantungan. Sejak Orde Baru pembangunan ekonomi dan stabilitas politik menjadi agenda penting pemerintah. Kedua hal itu menuntut peran penting pemerintah baik dari segi kekuasaan maupun implementasi program-program pembangunan. Untuk hal kedua digunakan pendekatan teknokratis dan birokrasi yang kuat lagi tanggap terhadap pimpinan eksekutif. Dalam pelaksnaan pembangunan pemerintah Indonesia mengambil strategi lebih `berorientasi keluar` dengan mengandalkan bantuan modal asing daripada `berorientasi kedalam` dengan memperkuat wiraswastawan pribumi. Strategi ini berhasil mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara cepat, tetapi berimplikasi kemiskinan banyak orang serta ketergantungan bagi semua (Sritua Arif dan Adi Sasono, 1984 : 93). Presiden Bank Dunia, Robert McNamara pernah menyatakan bahwa persoalan yang muncul di negara-negara yang sedang membangun bukan hanya masalah laju pertumbuhan tetapi dampaknya di bidang sosial begitu timpang dan jumlah manusia yang terlupakan begitu besar (dalam Huntington dan Joan Nelson, 1994 : 2). Dengan basis dana dari luar negeri, birokrasi secara moral merasa lebih bertanggung jawab kepada pemberi dana yakni pihak luar negeri daripada kepada masyarakat. Dengan demikian berbagai kebijakan sangat dipengaruhi oleh pihak luar negeri sebagai pihak pemberi dana. Untuk menanggapi hal itu pendekatan-pendekatan sentralistik, teknokratik dan birokratik tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian nuansa sentralisasi–yang berarti kuatnya peran birokrasi—menjadi sangat jelas dalam proses-proses pembuatan keputusan dan administrasi pembangunan.
Kenyataan besarnya kekuasaan birokrasi itu meminimalkan kebutuhan birokrasi menerima masukan dari lembaga lain dan masyarakat. Demikian pula mereka tidak merasa perlu mempertanggung-jawabkan kepada publik. Hal itu diperkuat dengan fakta bahwa kebanyakan dana pembangunan di negara-negara berkembang bukan berasal dari masyarakatnya secara langsung melainkan berasal dari berbagai lembaga keuangan internasional berupa dana bantuan luar negeri. Dengan kuatnya peran birokrasi–yang didominasi perwira militer dan teknokrat sipil ditambah pengusaha-klien–yang berarti lemahnya masyarakat sipil dan lembaga-lembaga politik yang dikembangkan secara hakiki tetap tidak efektif.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan birokrasi yang begitu besar berkaitan dengan melimpahnya sumber daya yang dikuasai, dengan model otoriterisme birokratis dan korporatisme negara, kemampuan masyarakat dilemahkan sehingga tidak berdaya di hadapan birokrasi yang justru semakin kokoh dan berkuasa. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa mengapa birokrasi selalu berorientasi kepada kekuasaan yang lebih tingg–dari tiga kasus di atas–tidak lain karena birokrasi menguasai sumber daya yang begitu besar. Semakin besar kekuasaan semakin besar sumber daya yang dikuasai, dan birokrasi tingkat bawah berkepentingan dengan sumber daya yang dikuasai birokrasi tingkat atas. Kecuali itu, dengan model otoriterisme birokratis dan korporatisme negara, potensi kontrol dalam masyarakat diminimalkan.
Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit kiranya (bila birokrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu “stabilitas politik” dan alasan ini adalah paling tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini.
Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. (Miftah Toha; 1993) Banyak virus yang terus menggrogotinya seperti ; pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Uraian-uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa netralitas birokrasi akan selalu terkait dengan politik dan kekuatan politik; dalam hal ini politik diartikan sebagai kekuasaan untuk membuat keputusan, sedangkan kekuatan politik adalah semua agresi politik yang berwujud partai politik.
Untuk menghindari axioma politik yang menyatakan bahwa “jika birokrasi lemah, maka kekuatan politik bisa kuat dan sebaliknya, bila kekuatan politik lemah, maka birokrasi akan menjadi kuat”, maka kedua-duanya perlu diberikan peran yang lebih aktif. Artinya kita tidak ingin bersikap terlalu dikotomis dalam melihat antara peran administrasi/ birokrasi dengan peran kekuatan politik. Sebab jika birokrasi hanya diberi tugas untuk melaksanakan kebijakan politik tanpa dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, dikawatirkan mereka tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa ikut memiliki segala kebijakan yang diembankan kepadanya untuk diimplementasikan. Karenanya kadang muncul perilaku birokrat yang birokratis, menghambat, sabotage, frustasi, inefisiensi dan sebagainya.
Oleh karenanya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul perasaan tanggung jawab dan sekaligus mempunyai akuntabilitas dan responsibilitas serta bisa meneguhkan posisi birokrasi. Untuk menghindari munculnya the authoritarian birokrasi, maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada juga dari lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak merasa kebal kritik, merasa tidak pernah salah, arogan dan sebagainya. Sedang sebagai lembaga pelayanan publik,agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral; dalam penegertian mereka tidak memihak kepada atau dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu agar peranan birokrasi pemerintah dapat lebih berarti. Sepanjang masih membuka kesempatan dan menghargai kritik dan kontrol, sebaiknya birokrasi pemerintah perlu diberi peran juga dalam keterlibatannya membuat proses kebijakan ataupun keputusan.
Dalam memberikan pelayanan umum, birokrasi pemerintah dituntut lebih efektif dan efisien. Namun, akibat tugas yang berat dan sangat luas, maka birokrasi pemerintah terkesan lambat. Untuk itu atas pertimbangan kecepatan dan kelancaran dalam pelayanan, maka perlu untuk “mewirausahakan” birokrasi. Disinilah netralitas birokrasi sangat diperlukan. Birokrasi sebagaimana telah disinggung diatas, merupakan suatu bentuk organisasi perspektif struktural dalam paradigma efisiensi. Dalam pengertian yang sederhana, James D. Mooney mendifinisikan organisasi sebagai bentuk perserikatan manusia untuk pencapaian tujuan bersama (dalam Sutarto, 1995 : 23). Dengan demikian birokrasi dapat dipandang sebagai bentuk pengorganisasian kerjasama manusia secara efisien dengan sepenuhnya menerapkan berbagai asas organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama secara efektif. Selain itu birokrasi juga merupakan tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang (Achmat Batinggi, 1999: 5.3) Max Weber, Frederick Taylor dan Henry Fayol percaya bahwa organisasi paling efisien dan efektif mempunyai struktur hirarkis berdasar pada otoritas formal dan legal (dalam Stoner, 1982 : 353). Organisasi demikian biasa diasosiasikan dengan konsep birokrasi rumusan Max Weber.
Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional. Karakteristik birokrasi tipe ideal sebagaimana dimaksud Weber di atas adalah meliputi :
1. Adanya pembagian kerja yang jelas.
2. Adanya hierarki jabatan.
3. Adanya pengaturan sistem yang konsisten.
4. Prinsip formalistic impersonality.
5. Penempatan berdasarkan karier.
6. Prinsip rasionalitas (Max Weber dalam Batinggi, 1999).
Menurut perkembangan awal dari konsepsi birokrasi ini, kenetralan birokrasi itu sudah ramai dibicarakan oleh para pakar. Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Rober Michels. (Fischer & Sirriani; 1984) Misalnya, polemik antara Karl Marx dan Hegel yang menyoroti tentang konsep kenetralan birokrasi. Marx memulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara. Analisis Hegelian menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan masyarakat rakyatnya (the civil Society). Masyarakat rakyat ini terdiri atas para profesional dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan umum. Di antara kedua hal ini, birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Tiga susunan ini (negara, birokrasi dan masyarakat rakyat) diterima oleh Marx, akan tetapi diubah isinya. Birokrasi Hegel meletakkan pengertiannya dengan melawankan antara kepentingan khusus dan umum, maka Marx mengkritiknya bahwa meletakkan posisi birokrasi semacam itu tidak mempunyai arti apa-apa. Menurut Marx negara itu tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Dari perspektif ini maka birokrasi itu sebenarnya merupakan perwujudan kelompok sosial yang amat khusus. Lebih tepatnya birokrasi itu menurut Marx merupakan suatu instrumen di mana kelas dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya. Dalam hal ini, jelas masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marx pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu negara (Achmat-Batinggi, 1999). Dari polemik antara Karl Marx dan Hegel inilah netralisasi birokrasi sudah ramai dibahas.
Dari polemik pendapat antara Hegel dan Marx ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hegel menghendaki kenetralan birokrasi. Sedangkan Marx yang terkenal dengan teori kelasnya itu menyatakan dengan tegas bahwa birokrasi itu tidak netral dan harus memihak, yakni memihak pada kelas yang dominan (Achmat-Batinggi, 1999). Pada konteks yang lain, yang tidak berbau Marxis, Woodrow Wilson (Achmat-Batinggi, 1999) juga menyoroti tentang kenetralan birokrasi . Birokrasi pemerintah menurut Wilson berfungsi melaksanakan kebijakan politik, sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik. Konsep dasar Wilson ini kemudian diikuti oleh sarjana politik Frank Goodnow (1900) yang menyatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lainnya yaitu fungsi pokok politik dan administrasi. Fungsi politik berarti pemerintah membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara fungsi administrasi berarti pemerintah tinggal melaksanakan kebijakan tersebut (Achmat-Batinggi, 1999).
Dalam perspektif lainnya, netralisasi birokrasi dikemukakan oleh Francis Rourke (1984). Dia mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik, akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan politik. Menurut Rourke, netralisasi birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan politik itu, menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni pada masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri (executive branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha dan mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan birokrasi sendiri, misalnya dari kalangan perguruan tinggi (Achmat-Batinggi,1999).Sedangkan menurut Nicholas Henry (1980), birokrasi mempunyai kekuasan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-making power).
Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah Thoha ;1993) Dari berbagai pandangan di muka, dapat disimpulkan bahwa belum ada kesepakatan yang pasti tentang netralitas birokrasi, apakah berdiri sebagai profesional ataukah ia harus memihak partai/pihak tertentu yang sedang berkuasa. Untuk mengetahui netralitas birokrasi pemerintahan kita, dapat ditelusuri sejarah perkembangannya (Achmat-Batinggi, 1999) di bawah ini:
Pada masa kemerdekaan, yaitu tepatnya tahun 1945-1950. Sikap birokrasi pemerintah kita masih netral. Semangat perjuangan masih mewarnai birokrasi kita. Semangat nasional untuk membela dan mempertahankan negara proklamasi masih melekat kuat pada putra-putri bangsa. Pada awal tahun-tahun kemerdekaan ada semacam kesepakatan pendapat dari putra-putra bangsa, bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Periode tahun 1950-1959. Pada masa ini, semua partai politik berkeinginan menguasai kementerian pemerintah. Kehidupan birokrasi sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh patronikasi. Rekrutmen pegawai berbau Jacksonisme, surat wasiat (katabelece) mempengaruhi penentuan terhadap siapa yang akan diangkat dalam jabatan birokrasi, sehingga kehidupan birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral. Walaupun birokrasi pemerintah sudah mulai tidak netral, ada satu hal yang masih dirasakan menguntungkan. Di antara partai-partai politik yang saling bersaing untuk menguasai kementerian pemerintah itu, mereka semuanya menginginkan adanya pemerintah yang demokratis. Pada periode ini pemilu untuk pertama kali diselenggarakan setelah merdeka. Partai politik berpaling kepada aparat birokrat, karena menurut jumlahnya merupakan potensi pendukung untuk memenangkan partai dalam pemilu. Pada waktu itu maka timbullah kelompok-kelompok pegawai negeri yang berafiliasi dengan partai politik.
Masa antara tahun 1960-1965. Pada periode ini, birokrasi semakin jelas diincar oleh aliran politik. Keinginan tiga aliran politik untuk menguasai birokrasi pemerintah semakin mengkristal. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga aliran politik (Nasional, agama dan komunis/Nasakom) membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga ciri birokrasi saat itu adalah sangat birokratis, primordial dan patronikasi yang sangat kental. Tiga aliran politik (Nasakom) berambisi mempergunakan jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sebagai building block untuk membangun organisasinya. Kemudian perbedaan yang mencolok dari sikap birokrasi pemerintah kita pada masa orde lama dengan masa orde Baru adalah: pada masa orde lama, keinginan tiga aliran politik (NASAKOM) untuk menguasai kekuasaan politik semakin mengkristal. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga aliran politik membangun akses ke birokrasi pemerintah. Pada masa ini birokrasi pemerintah digunakan untuk menyokong kekuasaan aliran politik yang ada yaitu NASAKOM.
Sedangkan pada masa Orde Baru – 1998 yang lalu, birokrasi kita menjadi “alat” kekuatan sosial dan politik yang dominan yaitu Golkar. Kemenangan Golkar pada empat kali pemilu, salah satu faktor yang menentukan kemenangan itu adalah peranan birokrasi kita. Birokrasi kita ikut memilih dalam pemilu, dan tidak ada alternatif lain yang dipilih kecuali Golkar. Jadi secara singkat letak perbedaan masa orde lama dan orde baru terhadap birokrasi kita adalah pada orde lama, tiga aliran politik sama-sama mempunyai akses ke birokrasi. Sedangkan pada periode orde Baru, birokrasi “diwajibkan” memihak ke Golkar.
Pada masa reformasi. Kedudukan birokrasi atau sikap birokrasi pemerintah masih penuh tanda tanya. Karena pada masa reformasi ini telah muncul kembali multi partai, sehingga: (1) tidak ada kekuatan politik yang dominan, (2) kepada siapa ia harus memihak, (3) Golkar masih cukup kuat Sifat masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat transisi, yakni antara msyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik). Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama. 1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern; 2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita; 3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Model administrasi negara di dalam masyarakat negara sedang berkembang yang berciri prismatik adalah “model sala”. Karakteristik heterogenitas, formalisme dan overlapping mewujud dalam model “sala”. Dalam birokrasi sala demikian birokrasi modern rasional ala Weber berlangsung sama dengan “birokrasi tradisional”. Ada struktur formal, tetapi fungsi-fungsi administratif dilaksanakan berdasarkan hubungan-hubungan kekeluargaan ini menimbulkan berbagai kelompok yang disebut prulal community dan solidaritas diantara anggota kelompok. Norma-norma formal yang didesain sebagai hukum dan pedoman perilaku dapat dikalahkan oleh norma-norma yang mengikat hubungan kekeluargaan dalam kelompok-kelompok tersebut. Keadaan ini menggiring ke arah penyatuan antara kepentingan birokrasi (negara) dengan kepentingan pribadi. Akhirnya timbul berbagai ketidakadilan pelayanan dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu berbagai nilai modern dirumuskan seperti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat; PNS adalah abdi masyarakat; pemerintah harus bertindak sesuai hukum; namun tidak pernah ditemui dalam praktek (dalam S. Pamudji, tt : 57-63). Birokrasi model “sala” ini mempunyai kemiripan dengan birokrasi patrimonial dari Weber. Menurut Weber, birokrasi patrimonial ini memiliki karakteristik berikut :
1. Rekruitmen pejabat berdasar kriteria pribadi dan politik.
2. Jabatan merupakan sumber kekayaan dan keuntungan.
3. Pejabat mengontrol fungsi politik dan administrasi.
4. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Kondisi patrimonialistik itu memunculkan perilaku aparat birokrasi yang menghamba pada kekuasaan (dalam Denny B.C. Hariandja, 1999 : 56). Dengan demikian birokrasi tidak memerlukan pengawasan, karena hanya akan menganggu dan mendeskralisasi kekuasaan. Berdasar alasan demikian tidak aneh bila birokrasi lebih mementingkan pelayanan kepada penguasa daripada masyarakat. Karena penguasa dipandang dapat memberikan dan melanggengkan kekuasaan pejabat birokrasi, sementara hal itu tidak dapat diberikan oleh masyarakat. Dalam kerangka demikian dapat dipahami mengapa di masa lalu birokrasi Indonesi mati-matian membela GOLKAR, seorang kepala desa rela keluar uang jutaan rupiah untuk memenangkan GOLKAR di desanya, dan mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta enggan menutup diskotik yang melanggar aturan.
Dalam masyarakat prismatik, birokrasi model sala atau patrimonial, pola-pola hubungan yang ada cenderung menciptakan patronase. Birokrasi yang memiliki kekuasaan berperan sebagai patron dan kelompok-kelompok ekonomi yang menguasai sumber dana menjadi client. Adanya pertukaran kedua sumber daya itu, hubungan ini membawa keuntungan bagi kedua pihak. Implikasi pola hubungan ini adalah birokrasi cenderung menafikan pihak-pihak yang tidak menguasai sumber daya apapun. Sehingga tidak aneh bila birokrasi negara berkembang umumnya dan birokrasi Indonesia khususnya kurang memperhatikan keadilan dan pelayanan kepada masyarakat umum. Dalam suasana birokrasi patrimonial itu cenderung mempertahankan status quo menolak segala perubahan. Harmoni merupakan hal yang sangat diutamakan. Oleh sebab itu kritik dan pengawasan sejauh mungkin dihindarkan sebab dianggap merupakan hal yang dapat mengganggu keharmonisan tersebut. Kecuali itu penguasa identik dengan kebenaran sehingga masyarakat hanya harus menurut. Di pihak lain masyarakat secara budaya umumnya merasa tidak perlu mengawasi birokrasi.
Fungsi birokrasi pada umumnya adalah mengimplementasikan kebijakan publik. Untuk itu birokrasi mempunyai kelengkapan legitimasi kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan Weber bahwa pejabat birokrasi mempersyaratkan kekuasaan legal-rasional yang legitimasinya bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dengan kondisi tersebut sangat mungkin terjadi akumulasi kekuasaan di tangan birokrasi. Di satu sisi ia memiliki pengetahuan khusus yang esensial bagi administrasi dalam dunia modern yakni ekonomi dan hukum. Pada sisi lain, berkaitan dengan tugasnya, ia memperoleh banyak informasi kongkrit, yang sebagian besar secara artifisial dibatasi oleh gagasan-gagasan kerahasiaan dan kemampuan (dalam Albrow, 1996 : 35). Dalam masyarakat sedang berkembang yang sedang gandrung membangun, administrasi pembangunan ada ditangan birokrasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran birokrasi menjadi sangat besar dalam masyarakat yang sedang membangun. Besarnya kekuasaan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru, ditandai berbagai label yang diberikan para pemerhati Indonesia dari luar negeri, yakni Bureaucratic Policy (Karl D. Jackson, 1987), Bureaucratic State (Emmerson, 1983), Bureaucaratic Authoritarian (Dwight Y. King, 1983) (dalam Afan Gaffar, 2000 : 235). Besarnya kekuasaan birokrasi mendorong birokrasi terus-menerus meningkatkan kemampuan dan keahliannya. Dalam proses yang terus berlangsung dalam waktu yang lama kemampuan birokrasi terus meningkat, jauh melebihi lembaga-lembaga politik. Dengan posisi yang kuat ini birokrasi negara berkembang semakin mampu menciptakan berbagai mekanisme yang cenderung memperkuat posisi dan kekuasaan. Bersama dengan itu melemahkan posisi lembaga politik yang ada. Keadaan tersebut didukung dengan kenyataan pengelolaan kebijakan publik di negara-negara berkembang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Amir Santoso, di negara-negara sedang berkembang umumnya kebijakan bersifat merombak dan ambisius karena kebijakan itu dimaksudkan untuk perubahan sosial. Perumusan kebijakan itu tidak dilakukan oleh parlemen melainkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan lemahnya kemampuan parlemen, atau partai politik tidak dapat berfungsi sebagai alat artikulasi kepentingan tetapi lebih sebagai alat bagi elit untuk menguasai massa. Selain itu kelompok kepentingan tidak efektif dalam penyaluran tuntutan massa. Di negara-negara berkembang itu kebijakan publik jarang merupakan hasil tuntutan massa atau hasil tekanan partai politik atau kelompok kepentingan. Kebijakan itu sering ditentukan sendiri oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan parlemen atau masyarakat. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa rezim di negara-negara berkembang bersikap anti partai dan menganggap partisipasi dalam perumusan kebijakan sebagai tidak sah dan tidak efisien (dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1986 : 411). Dalam konteks demikian birokrasi bersifat sangat otonom dalam arti terbebas dari pengaruh kelas sosial. Untuk memahami birokrasi otonom dapat dipahami dengan konsep negara “pasca-kolonial”.
Menurut Hamza Alavi di negara-negara “pasca-kolonial” birokrasi terbebas dari tekanan penguasa kolonial dan hanya berhadapan dengan masyarakat yang relatif terbelakang sehingga mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang besar. Birokrasi bersifat “over developed” dan tidak ada kelas sosial yang hegemonik. Kecuali itu seiring dengan proses pembangunan, birokrasi berperan dalam melaksanakan fungsi administrasi, arbritasi dan regulasi, fungsi kontrol finansial, moneter dan fiskal, bahkan pada sektor-sektor tertentu melaksanakan tindakan langsung. Pada satu sisi birokrasi mendominasi penetapan kebijaksanaan publik, pada sisi yang lain rakyat teralinasi. Basis kekuasaan birokrasi cenderung semakin besar. Peran birokrasi lebih untuk tujuan pendisiplinan dan pengendalian rakyat untuk pencapaian tujuan-tujuan yang menguntungkan sistem kapitalisme dari pada sekedar fungsi pengorganisasian dan pengkoordinasian (Mohtar Mas`oed, 1999 : 70-77).
Semakin besarnya kekuasaan birokrasi ternyata dibarengi dengan semakin melemahnya masyarakat. Sehingga masyarakat negara-negara sedang berkembang umumnya, dan masyarakat Indonesia khususnya, tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap birokrasi. Keadaan ini dapat dipahami dengan kerangka konsep Otoriterisme Birokratik dan Korporatisme Negara. Sebagai suatu rezim Otoriterisme Birokratik menurut Guillermo O`Donnel, memiliki sifat-sifat berikut:
1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil.
2. Didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional.
3. Pengambilan keputusan dalam rezim otoriterisme-birokratis bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses tawar-menawar yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan.
4. Massa didemobilisasikan.
5. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif (dalam Mohtar Mas`oed, 1989 : 10).
Sedangkan korporatisme negara, didefinisikan sebagai suatu sistem perwakilan kepentingan dimana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan keanggotaan , tidak saling bersaing, diatur secara hirearkis dan dibedakan secara fungsional; dan diakui atau diberi izin (jika tidak diciptakan) oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam bidang masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan dalam artikulasi tuntunan dan dukungan mereka, dengan tujuan menindas konflik kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan, kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara negara dan masyarakat (dalam Mohtar Mas`oed, 1989 : 13). Sistem perwakilan kepentingan di Indonesia konstituennya memiliki ciri-ciri tersebut. Karakteristik pemerintahan Orde Baru menyerupai sifat-sifat otorisme-birokratik dan korporatisme-negara (Afan Gaffar 2000 : 36-41).
Tinjauan dari sisi lain menggunakan perspektif teori ketergantungan. Sejak Orde Baru pembangunan ekonomi dan stabilitas politik menjadi agenda penting pemerintah. Kedua hal itu menuntut peran penting pemerintah baik dari segi kekuasaan maupun implementasi program-program pembangunan. Untuk hal kedua digunakan pendekatan teknokratis dan birokrasi yang kuat lagi tanggap terhadap pimpinan eksekutif. Dalam pelaksnaan pembangunan pemerintah Indonesia mengambil strategi lebih `berorientasi keluar` dengan mengandalkan bantuan modal asing daripada `berorientasi kedalam` dengan memperkuat wiraswastawan pribumi. Strategi ini berhasil mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara cepat, tetapi berimplikasi kemiskinan banyak orang serta ketergantungan bagi semua (Sritua Arif dan Adi Sasono, 1984 : 93). Presiden Bank Dunia, Robert McNamara pernah menyatakan bahwa persoalan yang muncul di negara-negara yang sedang membangun bukan hanya masalah laju pertumbuhan tetapi dampaknya di bidang sosial begitu timpang dan jumlah manusia yang terlupakan begitu besar (dalam Huntington dan Joan Nelson, 1994 : 2). Dengan basis dana dari luar negeri, birokrasi secara moral merasa lebih bertanggung jawab kepada pemberi dana yakni pihak luar negeri daripada kepada masyarakat. Dengan demikian berbagai kebijakan sangat dipengaruhi oleh pihak luar negeri sebagai pihak pemberi dana. Untuk menanggapi hal itu pendekatan-pendekatan sentralistik, teknokratik dan birokratik tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian nuansa sentralisasi–yang berarti kuatnya peran birokrasi—menjadi sangat jelas dalam proses-proses pembuatan keputusan dan administrasi pembangunan.
Kenyataan besarnya kekuasaan birokrasi itu meminimalkan kebutuhan birokrasi menerima masukan dari lembaga lain dan masyarakat. Demikian pula mereka tidak merasa perlu mempertanggung-jawabkan kepada publik. Hal itu diperkuat dengan fakta bahwa kebanyakan dana pembangunan di negara-negara berkembang bukan berasal dari masyarakatnya secara langsung melainkan berasal dari berbagai lembaga keuangan internasional berupa dana bantuan luar negeri. Dengan kuatnya peran birokrasi–yang didominasi perwira militer dan teknokrat sipil ditambah pengusaha-klien–yang berarti lemahnya masyarakat sipil dan lembaga-lembaga politik yang dikembangkan secara hakiki tetap tidak efektif.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan birokrasi yang begitu besar berkaitan dengan melimpahnya sumber daya yang dikuasai, dengan model otoriterisme birokratis dan korporatisme negara, kemampuan masyarakat dilemahkan sehingga tidak berdaya di hadapan birokrasi yang justru semakin kokoh dan berkuasa. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa mengapa birokrasi selalu berorientasi kepada kekuasaan yang lebih tingg–dari tiga kasus di atas–tidak lain karena birokrasi menguasai sumber daya yang begitu besar. Semakin besar kekuasaan semakin besar sumber daya yang dikuasai, dan birokrasi tingkat bawah berkepentingan dengan sumber daya yang dikuasai birokrasi tingkat atas. Kecuali itu, dengan model otoriterisme birokratis dan korporatisme negara, potensi kontrol dalam masyarakat diminimalkan.
Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit kiranya (bila birokrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu “stabilitas politik” dan alasan ini adalah paling tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini.
Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. (Miftah Toha; 1993) Banyak virus yang terus menggrogotinya seperti ; pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Uraian-uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa netralitas birokrasi akan selalu terkait dengan politik dan kekuatan politik; dalam hal ini politik diartikan sebagai kekuasaan untuk membuat keputusan, sedangkan kekuatan politik adalah semua agresi politik yang berwujud partai politik.
Untuk menghindari axioma politik yang menyatakan bahwa “jika birokrasi lemah, maka kekuatan politik bisa kuat dan sebaliknya, bila kekuatan politik lemah, maka birokrasi akan menjadi kuat”, maka kedua-duanya perlu diberikan peran yang lebih aktif. Artinya kita tidak ingin bersikap terlalu dikotomis dalam melihat antara peran administrasi/ birokrasi dengan peran kekuatan politik. Sebab jika birokrasi hanya diberi tugas untuk melaksanakan kebijakan politik tanpa dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, dikawatirkan mereka tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa ikut memiliki segala kebijakan yang diembankan kepadanya untuk diimplementasikan. Karenanya kadang muncul perilaku birokrat yang birokratis, menghambat, sabotage, frustasi, inefisiensi dan sebagainya.
Oleh karenanya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul perasaan tanggung jawab dan sekaligus mempunyai akuntabilitas dan responsibilitas serta bisa meneguhkan posisi birokrasi. Untuk menghindari munculnya the authoritarian birokrasi, maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada juga dari lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak merasa kebal kritik, merasa tidak pernah salah, arogan dan sebagainya. Sedang sebagai lembaga pelayanan publik,agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral; dalam penegertian mereka tidak memihak kepada atau dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu agar peranan birokrasi pemerintah dapat lebih berarti. Sepanjang masih membuka kesempatan dan menghargai kritik dan kontrol, sebaiknya birokrasi pemerintah perlu diberi peran juga dalam keterlibatannya membuat proses kebijakan ataupun keputusan.
1 komentar:
v
Posting Komentar