Perusahaan Daerah Air Minum Kota Makassar, terus menerus mengalami perkembangan melalui tahap demi tahap dalam lintasan sejarah yang cukup panjang, yang berawal pada Tahun 1924 dengan dibangunnya Instalasi Pengolahan Air (IPA) Ratulangi oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan debit awal 50 ltr/det, kemudian pada jaman pendudukan Jepang ditingkatkan menjadi 100 ltr/det.
Air baku diambil dari Sungai Jeneberang yang terletak 7 Km disebelah Selatan pusat kota. Air dari sungai tersebut dipompa melalui saluran tertutup ke Instalasi Ratulangi.
Seiring dengan usianya, IPA Ratulangi berangsur-angsur mengalami penurunan kapasitas produksi, pada tahun 1976 turun menjadi 50 ltr/det hingga saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk Kota Makassar yang makin meningkat, maka pada Tahun 1977 dibangun Instalasi II Panaikang dengan kapasitas tahap pertama 500 ltr/det. Air bakunya diambil dari bendung Lekopancing Sungai Maros sejauh ± 29,6 Km dari Kota Makassar.
Kemudian pada Tahun 1985 melalui paket pembangunan Perum Perumnas dibangun Instalasi III Antang dengan kapasitas awal 20 ltr/det. Pada Tahun 1989 IPA Panaikang ditingkatkan menjadi 1.000 ltr/det. Tahun 1992 IPA Antang ditingkatkan pula kapasitasnya menjadi 40 ltr/det. Dan pada Tahun 1993 lewat paket bantuan hibah Pemerintah Pusat dibangun Instalasi IV kapasitas 200 ltr/det di Maccini Sombala.
Penambahan demi penambahan kapasitas produksi rupanya belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, permukiman dan industri, sehingga melalui Proyek Pengembangan Sistim Penyediaan Air Bersih Kota Makassar pada Tahun 2000, dibangun Instalasi V Somba Opu dengan kapasitas 1.000 ltr/det di Kabupaten Gowa yang sumber air bakunya dari Dam Bili-Bili sejauh ± 16 Km.
Sumber Air Baku memanfaatkan air permukaan yaitu sungai Maros di Kabupaten Maros dan Sungai Jeneberang di Kabupaten Gowa yang saat ini mengalami gangguan kekeruhan akibat longsoran Gunung Bawakaraeng.
DAM Kota Makassar sampai saat ini telah menjangkau 692.308 jiwa penduduk dari 1.139.822 jiwa total penduduk Kota Makassar atau 62,22 %. Dari jumlah tersebut 59,42 % dilayani melalui pipa, sisanya 2,8 % dilayani melalui non pipa. Luas wilayah distribusi telah mencapai radius 11.250 Ha. Ini berarti, pelayanan air bersih PDAM Makassar telah menjangkau 65 % dari luas wilayah Kota Makassar yang mempunyai luas 17.577 Ha. Sistim distribusi adalah pemompaan dengan sistim tertutup dengan menggunakan pipa mulai diameter 50 mm sampai 1.000 mm dengan panjang pipa keseluruhan 2.701.233,45 Meter.
PDAM Makassar Terapkan 'Electronic Data Collector'
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar segera menerapkan sistem penagihan dengan menggunakan data elektronik (electronic data collector) untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.
Menurut Direktur PDAM Makassar Tajuddin Noer “Dengan sistem baru yang rencananya mulai diterapkan Mei 2010 akan menjadi salah satu upaya memperbaiki pelayanan kepada pelanggan”.
Dia mengatakan, penggunaan kartu elektronik itu sebelum diterapkan akan disosialisasikan terlebih dahulu. Sedang sistem baru tersebut rencananya diberlakukan bagi 146 ribu pelanggan PDAM yang ada di Kota Makassar dan sekitarnya. Dengan sistem penagihan yang menggunakan data elektronik itu, lanjutnya, pelanggan saat melakukan pembayaran hanya menyebut nomor rekeningnya saja, kemudian petugas langsung mengecek secara online.
"Dengan satu kali gesekan kartu, bukti pembayaran keluar dengan sendirinya," katanya. Lebih jauh dia mengatakan, penerapan sistem pembayaran elektronik ini telah berlakukan di PDAM Palembang dan hasil tagihan ke pelanggan terbayar 95 persen.
Sedang pengadaan kartu pembayaran sistem data elektronik tersebut, PDAM Makassar bekerja sama dengan PT Multimedia yang juga menangani program tagihan elektronik di PDAM Palembang.
Menyinggung rencana kenaikan tarif layanan air bersih PDAM Makassar dari Rp2.750 per kubik menjadi Rp3.000 per kubik, Tajuddin mengatakan, pihaknya akan fokus memperbaiki sistem pelayanan kepada pelanggan sebelum kenaikan tarif diumumkan, dan penggunaan kartu tagihan elektronik diberlakukan.
"Setelah kinerja dan pelayanan kepada pelanggan baik, barulah dipikirkan untuk menetapkan tarif baru," ujarnya.
Salah satu tujuan dan perbedaan utama dari paradigma NPM dengan paradigma OPA adalah pemangkasan, perubahan, budaya birokrasi. Budaya birokrasi yang dikembangkan dalam paradigma OPA yang masih cukup kuat mempengaruhi birokrasi di negara-negara berkembangm bagi banyak pakar, adalah sistem aturan yang dikomando. Jadi, segala kegiatan dan aktivitas, baik yang telah ditetapkan melalui program berkala, maupun yang belum terprogram, harus menunggu surat perintah dari atasan. SP ini menjadi dasar pelaksanaan setiap tugas, khususnya pelayanan publik, yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan.
Hasil penelitian kami, menemukan bahwa ketidak tercapaian target yang telah ditetapkan oleh PDAM dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh Surat Perintah yang harus ditunggu penerbitannya. Pemberian pelayanan, misalnya, pengaduan pelanggan terhadap kebocoran pipa, permintaan sambungan baru bagi pelanggan baru, tidak bisa mencapai target yang telah ditetapkan akibat dari prosedur birokrasi yang terlalu lama, panjang, dan berbelit. Budaya birokrasi ini tidak hanya memperlambat pelayanan, namun juga tidak memberdayakan para staf di tingkat bawah, khususnya staf teknis lapapangan karena harus menunggu Surat Perintah. Padahal, para staf ini sebetulnya lebih mengetahui situasi lapangan dan kebutuhan pelanggan. Selain itu, budaya birokrasi semacam ini juga mengabaikan hak-hak masyarakat yang seharusnya diberi pelayanan yang cepat, tepat, dan memuaskan karena mereka menjadi sumber income PDAM. Budaya birokrasi ini juga mengabaikan beberapa rambu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di antaranya Standar Pelayanan Minimum, SPM. Budaya birokrasi ini juga mengakibatkan terjadinya kerugian yang terus meningkat dialami oleh PDAM setiap tahun karena kebocoran dan pencurian air yang terus terjadi.
Air baku diambil dari Sungai Jeneberang yang terletak 7 Km disebelah Selatan pusat kota. Air dari sungai tersebut dipompa melalui saluran tertutup ke Instalasi Ratulangi.
Seiring dengan usianya, IPA Ratulangi berangsur-angsur mengalami penurunan kapasitas produksi, pada tahun 1976 turun menjadi 50 ltr/det hingga saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk Kota Makassar yang makin meningkat, maka pada Tahun 1977 dibangun Instalasi II Panaikang dengan kapasitas tahap pertama 500 ltr/det. Air bakunya diambil dari bendung Lekopancing Sungai Maros sejauh ± 29,6 Km dari Kota Makassar.
Kemudian pada Tahun 1985 melalui paket pembangunan Perum Perumnas dibangun Instalasi III Antang dengan kapasitas awal 20 ltr/det. Pada Tahun 1989 IPA Panaikang ditingkatkan menjadi 1.000 ltr/det. Tahun 1992 IPA Antang ditingkatkan pula kapasitasnya menjadi 40 ltr/det. Dan pada Tahun 1993 lewat paket bantuan hibah Pemerintah Pusat dibangun Instalasi IV kapasitas 200 ltr/det di Maccini Sombala.
Penambahan demi penambahan kapasitas produksi rupanya belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, permukiman dan industri, sehingga melalui Proyek Pengembangan Sistim Penyediaan Air Bersih Kota Makassar pada Tahun 2000, dibangun Instalasi V Somba Opu dengan kapasitas 1.000 ltr/det di Kabupaten Gowa yang sumber air bakunya dari Dam Bili-Bili sejauh ± 16 Km.
Sumber Air Baku memanfaatkan air permukaan yaitu sungai Maros di Kabupaten Maros dan Sungai Jeneberang di Kabupaten Gowa yang saat ini mengalami gangguan kekeruhan akibat longsoran Gunung Bawakaraeng.
DAM Kota Makassar sampai saat ini telah menjangkau 692.308 jiwa penduduk dari 1.139.822 jiwa total penduduk Kota Makassar atau 62,22 %. Dari jumlah tersebut 59,42 % dilayani melalui pipa, sisanya 2,8 % dilayani melalui non pipa. Luas wilayah distribusi telah mencapai radius 11.250 Ha. Ini berarti, pelayanan air bersih PDAM Makassar telah menjangkau 65 % dari luas wilayah Kota Makassar yang mempunyai luas 17.577 Ha. Sistim distribusi adalah pemompaan dengan sistim tertutup dengan menggunakan pipa mulai diameter 50 mm sampai 1.000 mm dengan panjang pipa keseluruhan 2.701.233,45 Meter.
PDAM Makassar Terapkan 'Electronic Data Collector'
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar segera menerapkan sistem penagihan dengan menggunakan data elektronik (electronic data collector) untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.
Menurut Direktur PDAM Makassar Tajuddin Noer “Dengan sistem baru yang rencananya mulai diterapkan Mei 2010 akan menjadi salah satu upaya memperbaiki pelayanan kepada pelanggan”.
Dia mengatakan, penggunaan kartu elektronik itu sebelum diterapkan akan disosialisasikan terlebih dahulu. Sedang sistem baru tersebut rencananya diberlakukan bagi 146 ribu pelanggan PDAM yang ada di Kota Makassar dan sekitarnya. Dengan sistem penagihan yang menggunakan data elektronik itu, lanjutnya, pelanggan saat melakukan pembayaran hanya menyebut nomor rekeningnya saja, kemudian petugas langsung mengecek secara online.
"Dengan satu kali gesekan kartu, bukti pembayaran keluar dengan sendirinya," katanya. Lebih jauh dia mengatakan, penerapan sistem pembayaran elektronik ini telah berlakukan di PDAM Palembang dan hasil tagihan ke pelanggan terbayar 95 persen.
Sedang pengadaan kartu pembayaran sistem data elektronik tersebut, PDAM Makassar bekerja sama dengan PT Multimedia yang juga menangani program tagihan elektronik di PDAM Palembang.
Menyinggung rencana kenaikan tarif layanan air bersih PDAM Makassar dari Rp2.750 per kubik menjadi Rp3.000 per kubik, Tajuddin mengatakan, pihaknya akan fokus memperbaiki sistem pelayanan kepada pelanggan sebelum kenaikan tarif diumumkan, dan penggunaan kartu tagihan elektronik diberlakukan.
"Setelah kinerja dan pelayanan kepada pelanggan baik, barulah dipikirkan untuk menetapkan tarif baru," ujarnya.
Salah satu tujuan dan perbedaan utama dari paradigma NPM dengan paradigma OPA adalah pemangkasan, perubahan, budaya birokrasi. Budaya birokrasi yang dikembangkan dalam paradigma OPA yang masih cukup kuat mempengaruhi birokrasi di negara-negara berkembangm bagi banyak pakar, adalah sistem aturan yang dikomando. Jadi, segala kegiatan dan aktivitas, baik yang telah ditetapkan melalui program berkala, maupun yang belum terprogram, harus menunggu surat perintah dari atasan. SP ini menjadi dasar pelaksanaan setiap tugas, khususnya pelayanan publik, yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan.
Hasil penelitian kami, menemukan bahwa ketidak tercapaian target yang telah ditetapkan oleh PDAM dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh Surat Perintah yang harus ditunggu penerbitannya. Pemberian pelayanan, misalnya, pengaduan pelanggan terhadap kebocoran pipa, permintaan sambungan baru bagi pelanggan baru, tidak bisa mencapai target yang telah ditetapkan akibat dari prosedur birokrasi yang terlalu lama, panjang, dan berbelit. Budaya birokrasi ini tidak hanya memperlambat pelayanan, namun juga tidak memberdayakan para staf di tingkat bawah, khususnya staf teknis lapapangan karena harus menunggu Surat Perintah. Padahal, para staf ini sebetulnya lebih mengetahui situasi lapangan dan kebutuhan pelanggan. Selain itu, budaya birokrasi semacam ini juga mengabaikan hak-hak masyarakat yang seharusnya diberi pelayanan yang cepat, tepat, dan memuaskan karena mereka menjadi sumber income PDAM. Budaya birokrasi ini juga mengabaikan beberapa rambu kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di antaranya Standar Pelayanan Minimum, SPM. Budaya birokrasi ini juga mengakibatkan terjadinya kerugian yang terus meningkat dialami oleh PDAM setiap tahun karena kebocoran dan pencurian air yang terus terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar