Jumat, April 2

Kajian Terhadap Wacana Manajemen Berbasis Sekolah Ditinjau Dari Perspektif Legal Basis


Konsep Manajemen Berbasis Sekolah – selanjutnya akan disingkat dengan MBS – sebenarnya bukan lagi wacana baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Konsep ini telah disosialisasikan bersamaan dengan pewacanaan kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan. Pengisian 186 butir Evaluasi Diri dari BAS (Badan Akreditasi Sekolah) yang disyaratkan dalam pemenuhan perolehan akreditasi sekolah menjadi kegiatan yang seremonial dan tak lebih dari pengumpulan dokumen foto copy yang siap diperiksa oleh asessor (Soetikno, 2007).

MBS kembali menjadi populer sejak tahun 1999, saat pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan UNESCO dan UNICEF, mengusung program MBS yang dalam proyek tersebut dikenal dengan nama CLCC (Creating Learning Communities for Children), yang diterjemahkan menjadi “Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak”. Proyek ini melibatkan sejumlah sekolah di berbagai propinsi sebagai objek kegiatannya. Kembali populernya konsep MBS yang sangat kental dengan semangat desentralisasi ini tentunya cukup erat berkaitan dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Terlebih lagi setelah disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan penyempurnaan UU No. 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi pendidikan tidak hanya dilimpahkan pada pemerintah daerah namun hingga ke tingkat satuan pendidikan.

Sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan, sudah sepantasnya jika segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pendidikan bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Dalam konsep MBS, sekolah diposisikan sebagai suatu lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri, sehingga sekolah harus memiliki unit perencana, unit pembuat keputusan, dan basis manajemen. Tidaklah mengherankan bila keberadaan Komite Sekolah, yang mencerminkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menjadi instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS. Jauh sebelum disahkannya PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yang disusul dengan keluarnya Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan, sebagian besar sekolah di Indonesia telah memiliki Komite Sekolah sejak tahun 2002. Hal ini tidak terjadi bukan tanpa dasar hukum, karena keberadaan Komite Sekolah pada waktu itu telah berlandaskan Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang mengatur tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Cukup beralasan bila MBS tidak begitu asing dalam penyelenggaraannya di sekolah karena paradigma sekolah dan masyarakat yang masih menganggap Komite Sekolah hanyalah pergantian nama dari sebuah wadah yang dulunya disebut dengan BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang telah dibentuk sejak tahun 1974 untuk menggantikan keberadaan POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman.
>

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pengetahuan. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com